Kedudukan Sastra Daerah

1.3    Kedudukan Sastra Daerah
Sastra, khususnya sastra daerah tidak dapat dilepaskan eksistensinya dari konteks kebudayaan. Secara hirarki, sastra merupakan bagian dari unsur kebudayaan. Walaupun demikian, antara sastra dan kebudayaan, menurut padangan Kutha Ratna (2007:9), baik secara terpisah, yaitu ‘sastra’ dan ‘budaya’, maupun sebagai kesatuan, selalu dikaitkan dengan nilai-nilai positif.

Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yang merupakan berntuk jamak dari kata buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Koentharaningrat (1990:180) member batasan, kebudayaan adalah, “Seluruh gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar”. Konsep ini tampaknya sepadan dengan pandangan Ember dan Ember (2006:18) bahwa kebudayaan merupakan cara berlaku yang dipelajari. Pandangan lain seperti dikemukakan oleh Hasibuan (2002:125) bahwa kebudayaan adalah hasil karya akal dan budi manusia seperti yang telah dikemukakan terdahulu.

Dalam pandangan Koentjaraningrat (2003:74-75), kebudayaan dibedakan sesuai dengan empat wujudnya.
  1. Artifacts, atau benda-benda fisik, antara lain bangunan-bangunan megah seperti Candi Borobudur, benda-benda bergerak seperti kapal tanki dan semua hasil karya manusia yang bersifat konkrit. Kebudsayaan yang bersifat konkrit ini biasa juga disebut “kebudayaan fisik”.
  2. Kebudayaan sebagai sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola, misalnya menari, berbicara, tingkah laku dalam melakukan suatu pekerjaan, dan lain-lain. Pola-pola tingkah laku manusia disebut juga “sistem social”.
  3. Kebudayaan sebagai sistem gagasan. Kebudayaan dalam wujud ini bersifat abstrak. Karena hanya berada di kepal setiap individu an dibawa ke mana saja. Kebudayaan dalam wujud gagasan juga berpola dan berdasarkan sistem-sistem tententu yang disebut “sistem budaya”.
  4. Kabudayaan sebagai sistem gagasan yang ideologis. Kebudayaan dalam wujud ini sangat sukar untuk diubah-ubah karena gagasan-gagasan ini telah dipelajari oleh para warga suatu kebudayaan sejak dini, yang pada akhirnya menghasilkan berbagai benda yang diciptakan manusia berdasarkan nilai-nilai, pikiran dan tingkah lakunya. Istilah untuk wujud kebudayaan ini adalah “nilai-nilai budaya”.

Menurut Malinowski (dalam Suleman, 2005:23), kebudayaan mempunyai tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi social, sistem pengetahuan, religi, kesenian (bandingkan dengan Liliweri, 2007:117).
Salah satu unsure kebudayaan adalah kesenian. Dari berbagai cabang kesenian, sastra mrupakan salah satu di antaranya. Sastra (kesusastraan) merupakan salah satu jenis kesenian selain seni music, seni rupa, seni patung, seni menggambar, dan seni pertunjukan (Koentjaraningrat, 2005:20). Hal senada lebih ditegaskan oleh Wellek dan Warren (1989:3) bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni.

Selain kedudukannya sebagai bagian dari kebudayaan, sastra sebenarnya adalah sarana mengungkapkan kebenaran yang dicita-citakan dan dirindukan oleh manusia. Justru pengungkapan kebenaran inilah yang menimbulkan beberapa komplikasi yang kadang-kadang menyulitkan kedudukan sastra. Pengalaman mental yang akan disampaikan oleh pengarang (penyair) belum tentu sejalan dengan kepentingan moral. Memang penciptaan suatu karya sastra ini sering terjadi karena ketidakpuasan akan apa yang seharusnya menurut moral tidak perlu terjadi. Tidak heran kalau dalam karya sastra kita selalu mendapatkan isi tentang nasib manusia yang malang, anak yang terlunta-lunta, atau perlawanan terhadap suatu kondisi yang menekan, ataupun kerinduan terhadap suatu harapan yang baik. Tidak kurang pula ada pengukuhan suatu perbuatan yang baik, baik yang pernah terjadi ataupun yang hanya dihayalkan akan terjadi (Darma, dalam Tuloli, 2001:207).

Kedudukan di atas, dilihat dari keberadaan sastra baik modern maupun daerah yang berkaitan dengan moral manusia. Cerita “Lahilote”, kalau kita kaitkan dengan kedudukan moral akan menampakkan harapan kebenaran yang menjadi idaman masyarakat Gorontalo masa lalu, sekarang, dan yang akan dating. Kebenaran moral itu adalah (1) cerita Lahilote sebenarnya penentangan terhadap kaum feodalisme zaman itu, yang selalu melihat orang dari segi kebangsawanan, harta kekayaan atau pangkat; (2) cerita tersebut mengungkapkan kebenaran bahwa setiap orang yang berusaha keras pasti akan mendapat keberhasilan, “bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian”; (3) setiap orang pasti memerlukan pertolongan orang lain, bagaimana pun kekuatannya, kemampuannya, atau kepintarannya; (4) orang akan menyimak dari arus perjalanan simbolik cerita itu, yaitu setiap orang harus mempunyai cita-cita yang tinggi dan brusaha mewujudkannya kalau ingin mengubah dan memperbaikinnya (Tuloli, 2001:207).

Jadi, kalau kita lihat dari segi moral, maka kedudukan sastra daerah tidak boleh diabaikan begitu saja terutama dalam mengisi pembangunan bangsa. Ia bias menjadi sumber yang tidak pernah kering untuk membina mental kejuangan generasi bangsa yang berkualitas. Ia menjadi pendamping iptek dalam mengembangkan sumber daya manusia yang utuh dan berkualitas.

Melalui sastra daerah, kita dapat memperkaya pengetahuan kita tentang sesuatu masyarakat dan budayanya. Kita juga dapat mengalami, mengapa suatu kejadian bisa muncul dalam masyarakat dan budayanya. Kita juga dapat memahami, mengapa suatu perbuatan timbul dari masyarakat tertentu.

Dalam sebuah simpulannya , Tuloli (2001:209) menyatakan bahwa sastra daerah mempunyai kedudukan sebagai berikut.
  1. Sastra daerah adalah ciptaan masyarakat pada masa lampau atau mendahului penciptaan sastra Indonesia modern.
  2. Sastra daerah dapat dimasukkan sebagai satu aspek budaya Indonesia yang perlu digali untuk memperkaya budaya nasional dan menjadi alternative kedua yang perlu dipertimbangkan dan dikembangkan selain sastra Indonesia.
  3. Sastra daerah melekat pada jiwa, rohani, kepercayaan, dan adat istiadat masyarakat suatu suku bangsa dan yang mereka pakai untuk menyampaikan nilai-nilai luhur bagi generasi muda.
  4. Sastra daerah mempunyai kedudukan yang strategis dalam kerangka pembangunan sumber daya manusia, yaitu untuk memperkuat kepribadian ke Indonesiaan yang bhineka tunggal ika.

Sumber: Didipu, Herman.2011. Sastra Bandingan. Gorontalo: Ideas Publishing.

Posting Komentar

Komentar telah ditutup. Jika ada yang perlu disampaikan terkait konten ini, silahkan kirim pesan lewat laman kontak.